Salah satu mandat sosial dan historis Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sebagai Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) adalah memberikan nasehat dan membantu konsumen, baik diminta dan atau tidak diminta. Itulah setidaknya yang tertuang pada Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen – UUPK, Pasal 44 ayat 3. Bahkan, tanpa diatur UUPK pun, mandat sosial YLKI sejak berdiri (11 Mei 1973), adalah menjadi pembela konsumen.

Untuk mengejawantahkan hal itu, YLKI menjadi wadah bagi konsumen mengadu, atas berbagai keluhan dan atau kerugian yang dialami saat menggunakan produk barang/jasa. Saat keluhan dan pengaduan konsumen mengalami kemacetan atau kebuntuan oleh “angkuhnya” pelaku usaha (produsen), YLKI hadir sebagai jembatan permasalahan konsumen vis a vis dengan pelaku usaha, produsen.

Pada kontek inilah, YLKI menerima aduan dari masyarakat setiap harinya. Tak terkecuali pada 2015. Sepanjang tahun kemarin, YLKI telah menerima 1.030 pengaduan konsumen, dari berbagai sektor komoditas. Itu baru pengaduan yang tercatat; yaitu pengaduan yang dilengkapi dengan cukup bukti. Belum pengaduan lain yang tidak tercatat karena tidak dilengkapi bukti-bukti yang kuat. Jumlahnya cukup banyak; lebih dari 900-an kasus yang disampaikan via email, hot line, telepon, dan media sosial.

Dari 1.030 pengaduan, terdapat 18 klasifikasi komoditas yang diadukan konsumen. Namun jika dielaborasi dalam sepuluh besar pengaduan, berikut ini urutan komoditas yang diadukan konsumen: pertama, perbankan 176 kasus (17,09%); kedua, perumahan 160 kasus (15,53%); ketiga, telekomunikasi 83 kasus (8,06%); keempat, belanja online 77 kasus (7,48%); kelima, leasing 66 kasus (6,50%); keenam, listrik 58 kasus (5,63%); ketujuh, transportasi 52 kasus (5,05%); kedelapan, elektronika 47 kasus (4,56%); kesembilan, asuransi 43 kasus (4,17%); dan kesepuluh otomotif 37 kasus (3,50%).

DOMINASI KASUS

Dari sisi public services hanya listrik (PLN) yang masuk 10 besar pengaduan konsumen. Layanan air bersih (PDAM) yang biasanya masuk 10 besar pengaduan, kini hanya 18 kasus saja yang diadukan ke YLKI. Sementara itu, masih tingginya pengaduan listrik, bisa dimaklumi karena kini diberbagai daerah tengah mengalami kurang daya/pasokan listrik. Ini menandakan sebagai publik services yang sangat strategis, performa pelayanan PT PLN masih minimalis.

Kesadaran konsumen Indonesia untuk mengadu (complaint habit) sejatinya sudah cukup bagus, walau baru sebatas kesadaran individual. Belum mencapai kesadaran kolektif. Namun demikian, jika disandingkan dengan fenomena serupa di negara lain, boleh jadi complaint habit di Indonesia masih terbilang rendah.

Ada beberapa hal menarik dicermati dari statistik pengaduan dimaksud. Pertama, pengaduan perbankan dalam lima tahun terakhir selalu bertengger pada rangking pertama pengaduan konsumen. Dan anehnya, permasalahan kartu kredit masih mendominasi, dari semua produk perbankan yang diadukan. Hal ini menandakan pengawasan dari Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) belum efektif mengatrol kinerja dan performa sektor perbankan nasional. Dan, sebagai korporasi, sektor perbankan juga minim melakukan edukasi pada nasabahnya, khususnya untuk kartu kredit.

Kedua, belanja online pengaduannya meningkat tajam. Tahun sebelumnya, 2015, pengaduan belanja online tidak masuk dalam barisan 10 besar pengaduan. Tapi sekarang, pengaduan belanja online langsung bertengger pada urutan ke-5. Hal ini bisa dipahami karena beberapa tahun terakhir belanja dan transaksi online mengalami booming.

Dan yang ketiga, lembaga perlindungan konsumen serupa tampaknya belum mampu menjadi tumpuan konsumen untuk mengadu, terutama Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), yang seharusnya lebih berdaya. Juga kehadiran BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen), tampak masih jauh dari harapan untuk konsumen merebut haknya. Keberadaan BPSK, masih acap memberikan putusan yang kurang berpihak pada konsumen.

KESIMPULAN 

Kesadaran konsumen Indonesia untuk mengadu (complaint habit) sejatinya sudah cukup bagus, walau baru sebatas kesadaran individual. Namun demikian, jika disandingkan dengan fenomena serupa negara lain, boleh jadi complaint habit di Indonesia masih terbilang rendah. Bandingkan dengan misalnya pengaduan konsumen di lembaga konsumen Consumentenbond di Belanda, yang perbulan mencapai 3.500-an pengaduan, dan setiap tahun dikunjungi tak kurang dari 250.000 orang. Sedangkan jumlah penduduk Belanda hanya berkisar 16 jutaan.

Oleh karena itu perlu edukasi dan pemberdayaan pada konsumen yang lebih kuat dan masif. Terutama oleh institusi yang lebih kuat baik dari sisi kompetensi dan sumber daya yang dimiliki, seperti OJK, BPKN, bahkan BPSK. Sebagai lembaga negara yang berskala nasional, keberadaan BPKN praktis belum dirasakan manfaatnyan oleh masyarakat.

Memasuki era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), adalah momen paling krusial untuk mengedukasi dan memberdayakan konsumen. Bahkan termasuk memberdayakan sektor pelaku usaha, khususnya pelaku usaha menengah bawah (UKM/UMKM). Tanpa itu, konsumen Indonesia hanya akan menjadi korban atas maraknya produk-produk sampah. Produsen kecil pun (UKM/UMKM) akan tergilas karenanya.

(Penulis : Tulus Abadi)