Kenaikan harga ketika puasa tiba sudah sangat menjerat konsumen. Harga barang barang kebutuhan pokok melambung tinggi. Sayur mayur, daging, ayam, dan terutama sekali cabe rawit yang menyentuh hingga Rp 100.000 dan bawang putih yang lagi-lagi menjulang hingga Rp 50.000.

Ketika harga tidak mampu diredam, dan media memberitakan secara terus menerus, akhirnya SBY pun ikut urun suara. Pak SBY menegur Menteri Pertanian, Suswono dan Menteri Perdagangan pak Gita. Tidak hanya itu, Menko Perekonomian Hatta Rajasa, serta Mentri Perindustrian juga ikut kena semprot.

Tetapi tentu solusi yang ditawarkan adalah solusi instan. Operasi pasar, impor sebanyak-banyaknya.  Dan kita akan menyaksikan, tahun depan kasus yang sama akan berulang. Bukankah gejolak kenaikan harga hal yang terus terjadi di bulan puasa dari tahun ke tahun? Apalagi ditambah dengan kenaikan harga BBM yang diumumkan pemerintah justru menjelang puasa? Sungguh beban yang berlipat bagi alasan kenaikan harga.

Seharusnya solusi yang ditawarkan pemerintah adalah solusi yang sistemik. Menjaga kestabilan harga dengan beberapa instrumen seperti yang dilakukan beberapa negara lain. Seperti Malaysia dan Venezuela, mereka mempunyai UU yang mengatasi gejolak kenaikan harga. Malaysia memiliki UU yang Mengontrol Harga dan UU Anti Mengambil Keuntungan Berlebih. Dengan UU ini pemerintah memiliki sistem dari hulu hingga ke hilir dalam mengatur harga kebutuhan pokok di pasar.

Sementara Venezuela sendiri memiliki UU Harga & Biaya yang Adil. UU ini menjamin harga yang wajar bagi konsumen dan keuntungan yang cukup pada pelaku usaha. Dan dengan UU ini, pemerintah Venezuela berusaha keras mengatasi penimbunan, spekulan harga dan kartel importir.

Sedangkan Amerika Serikat, melalui UU Pertaniannya, memang mengatur kestabilan harga kebutuhan pokok hingga 5 tahun ke depan. Setelah 5 tahun akan ada evaluasi soal penentuan harga ini.

Jadi, belajar dari negara-negara tersebut, instrumen dalam mengendalikan gejolak harga yang mendesak dimiliki oleh pemerintah adalah:

1. Regulasi atau UU yang mengatur soal harga kebutuhan pokok.

Jangan sampai pasar terlalu bebas dan terbuka seperti ini, sehingga tidak ada pengaturan sama sekali mengenai kebutuhan pokok yang menjadi hajat hidup orang banyak. Sayang di Indonesia, regulasi ini memang tidak ada. Jadi tidak ada sandaran legal yang memang mewajibkan ‘pasar’ memenuhi kebutuhan konsumen dengan harga yang wajar.

Bebasnya pasar di Indonesia juga terlihat dari ‘bebasnya’ para pelaku pasar/pedagang untuk melakukan penimbunan. Atau para spekulan bermain, serta kartel importir juga turut terlibat dengan permainan harga.

Regulasi yang kuat akan memberikan otoritas kepada pihak tertentu untuk melakukan pengawasan, penindakan dan penegakan hukum terhadap para pelaku usaha yang merugikan rakyat banya tersebut.

2. Kelembagan untuk membuat sistem Manajemen Stock

Setelah ada regulasi, tentu yang diharapkan adalah adanya lembaga yang membuat sistem manajemen stock. Ini sangat penting, agar kegiatan import tidak merugikan petani Indonesia.

Manajemen stock ini akan menghitung secara detail kemampuan produksi, meningkatkan produksi, menyerap kelebihan produk petani jika harga jatuh, dan melepasnya pada saat yang dibutuhkan. Dan jika memang hitung-hitungan produksi sudah sangat detail, dan ternyata masih terjadi kelangkaan, keputusan impor bisa dilakuan. Jangan seperti sekarang, impor sangat instan, seperti tanpa perencanaan.

Kebutuhan adanya manajemen stock ini juga mengingat statement Wakil Menteri Pertanian (Wamentan) yang menyatakan bahwa ketika musim panen tiba, lebih dari 40% hasil pertanian membusuk, tidak terserap pasar, karena hasil yang melimpah. Petani tetap rugi karena harga jatuh. Nah, lembaga buffer ini yang bisa menyerap hasil seperti itu, diberi nilai tambah agar awet (cukup dikeringkan), sehingga bisa dilepas pada saat yang dibutuhkan.

 Selain itu, lembaga ini juga mengatur agar rantai distribusi hasil pertanian dari petani hingga konsumen tidak terlalu panjang. Panjangnya rantai distribusi ini yang juga sangat berperan  bagi tingginya harga barang di pasar. Oh ya, yang disebut kelembagaan disini, bisa saja menghidupkan kembali peran Bulog. Tetapi sekarang inipun peran Bulog hanya menjadi agen impor juga. Jadi apa bedanya dengan importir? Tidak berperan dalam manajemen stock yang dimaksud.

3.  Membentuk Satuan Tugas Bekerja Sama dengan Pemda untuk Pengawasan

Karena Indonesia sangat luas dan sekarang eranya otonomi daerah, maka Satgas yang dibentuk melibatkan pemerintah daerah. Satgas inilah yang secara rutin melakukan pengawasan terhadap para spekulan yang bermain, termasuk impor-impor gelap yang bermain di banyak wilayah Indonesia.

 Dengan pengawasan yang rutin, maka kenaikan harga akan bisa diredam. Tidak seperti sekarang, inflasi naik menjulang di tahun 2013 ini, BI mengkhawatirkan hingga 7,8%. Karena sejak Januari 2013, sudah terjadi kelangkaan bawang merah dan bawang putih. Disusul oleh kelangkaan jengkol!

 Disusul dengan kenaiakan harga BBM, kelangkaan cabe dan kenaikan harga yang tidak wajar di pasar. Inilah yang harus diawasi secara ketat, apakah di rantai distribusi dari petani hingga pasar terjadi penimbunan. Atau diawasi juga secara ketat, aturan main para importir ini.

4. Penegakan Hukum bagi Spekulan dan Kartel Importir

 Jika regulasi tanpa gigi, tidak akan efektif bagi kemashalahatn rakyat banyak. Oleh karena itu, penegakan hukum harus dilakukan kepada para spekulan penimbun barang. Kelakuan pedagang pasar yang menimbun barang ini juga diakui oleh ketua asosiasi pasar tradisional, karena pedagang tergiur dengan margin yang tinggi jika harga naik. Dan itu ‘katanya’ sudah biasa. Tentu saja karena lemahnya pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelaku.

 Selain itu kartel importir juga sangat merugikan konsumen, karena mereka akan bersama menentukan harga. Alih-alih bersaing dalam memberikan harga yang termurah, para kartel ini malah kongkalikong untuk menentukan harga bersama yang cukup tinggi. Yang jelas, jika ingin meredam kenaikan harga, tidak bisa instan dan hanya hilinya saja dibenahi. Seperti program operasi pasar yang dilakukan oleh pemerintah. Jika hanya ini yang dilakukan, gejolak harga bisa kapan saja terjadi.

Jakarta, 16 Juli 2013

          Ilyani S. Andang –

          Anggota Pengurus Harian – YLKI –